BAB
I
PENDAHULUAN[1]
A. Latar Belakang Masalah
Secara garis besar, Para ahli membagi
akhlaq tasawuf menjadi dua aliran besar
(kecendrungan). Pertama, kecendrungan
tasawuf yang lebih mengarah pada teori-teori perilaku; dan kedua, kecenderungan tasawuf yang lebih mengarah pada perumusan
teori-teori rumit, pemikiran spekulatif berbau filsafat serta memperlukan
pemahaman mendalam. Kecenderungan pertama sering disebut dengan aliran tasawuf akhlaqi. Sedangkan kecenderungan
kedua sering disebut dengan jenis aliran tasawuf falsafi. Kali ini pembahasan akan difokuskan pada tasawuf akhlaqi.
Tasawuf adalah suatu ilmu dengan
diketahui hal ihwal kebaikan dan keburukan
jiwa, cara membersihkannya dari tercela dan mengisinya dengan sifat – sifat
yang terpuji cara melakukan suluk, dan perjalanan menuju (keridhaan) Allah dan meninggalkan (larangan – larangan-Nya) menuju
kepada (perintah-nya). [2]
Tasawuf
adalah nama lain dari “Mistisisme dalam Islam”. Di kalangan orientalis Barat
dikenal dengan sebutan “Sufisme”, tasawuf bertujuan untuk memperoleh suatu
hubungan khusus langsung dari Tuhan. Hubungan yang dimaksud mempunyai makna
dengan penuh kesadaran, bahwa manusia sedang berada di hadirat Tuhan.
Taswuf akhlaqi memiliki sederetan tokoh
terkenal, antara lain Hasan Al-Basri (21-110 H/
632-728 M), al-Harits bin Asad al-Muhasibi (w.
243 H), al-Qusyairi (w. 465 H) dan al-Ghazali (450-505 H/ 1058-1111). [3]
B.
Rumusan Masalah
Dari latar belakang yang ada maka
rumusan masalah yang penting untuk ditelaah adalah :
1.
Apa pengertian
dan ajaran dari Tasawuf
Akhlaqi ?
2.
Siapakah
tokoh-tokoh Tasawuf Akhlaqi
?
C. Tujuan Makalah
Tujuan
pembuatan makalah :
1. Memenuhi
tugas perkuliahan.
2. Melatih
menulis ilmiah.
3. Memahami
arti dan ajaran tasawuf akhlaki dan tokoh-tokohnya.
BAB
II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian
dan Ajaran Tasawuf Akhlaqi
Tasawuf akhlaki jika ditinjau dari sudut bahasa, bentuk fase
atau dalam kaidah bahasa arab dikenal dengan sebutan jumlah idhofah.
Fase jumlah idhofah merupakan gabungan dari dua kata menjadi satu kesatuan
makna yang utuh dan menentukan realitas yang khusus, yaitu kata ’tasawuf’
dan ‘akhlak’.
Kata Tasawuf menurut kaidah ilmu shorof merupakan
bentuk isim masdar yaitu tashowwufan (تصوف menjadi تصوفا ), yang
berasal dari fiil tsulatsi mazid khumasi, yaitu (تصوف) yang memiliki fungsi untuk membentuk
makna lil-mutowwa’ah atau transitif (kata keja yang memiliki objek dalam
kalimat) dan lil-musyarokah atau membentuk kata saling
sehingga arti dari kata ‘tasawuf’ dalam bahasa arab adalah bisa membersihkan’
atau ‘saling membersihkan’. Kata ‘membersihkan’ merupakan kata kerja transitif
yang membutuhkan objek. Objek tasawuf adalah akhlak manusia.[4]
Tasawuf akhlaqi ini sering
di tunjukan dengan banyaknya istilah seperti halnya tasawuf praktis, karena
lebih berorientasikan pada praktek akhlak atau perilaku shaleh, dan disebut
juga dengan
“tasawuf Sunni. Tasawuf Sunni yaitu bentuk tasawuf yang
memagari dirinya dengan Al-Qur’an dan Al-Hadits secara ketat, serta mengaitkan
ahwal (keadaan) dan maqomat (tingkatan rohaniah) mereka kepada dua sumber
tersebut”.
[5](Syukur
: 1994)
Menurut
Jurzi Zaidan berkeyakinan pula banwa “Hubungan
kata Arab ini dengan kata Yunani “Shopia” yang artinya kebijaksanaan”. [6]
Dan
tujuan terpenting dari tujuan tasawuf adalah memperoleh hubungan langsung
dengan Tuhan, sehingga merasa dan sadar berada di “hadirat” Tuhan. Keberadaan
di “hadirat” Tuhan itu dirasakan sebagai kenikmatan dan kebahagiaan yang
hakiki. Bagi kaum sufi, pengalaman Nabi Muhammad Saw dalam melaksanakan Isra’ Mi’raj dan Nabi
Musa As yang bisa membelah lautan menjadi dua, misalnya, merupakan sebuah
contoh puncak pengalaman rohani tertinggi yang hanya di punyai oleh seorang
Nabi.
Semua sufi berpendapat bahwa
satu-satunya jalan yang dapat menghantarkan seseorang ke hadirat Allah hanyalah
dengan kesucian jiwa. Karena jiwa manusia merupakan refleksi atau pancaran dari
pada Dzat Allah Yang Maha Suci, segala sesuatu itu harus sempurna (perfection)
dan suci. Untuk mencapai tingkat kesempurnaan dan kesucian, jiwa memerlukan
pendidikan dan latihan mental yang panjang.
Dan sejalan dengan tujuan hidup tasawuf, para sufi
berkeyakinan bahwa kebahagiaan yang paripurna dan langgeng bersifat spiritual.
Berangkat dari falsafah hidup itu, baik dan buruk sikap mental seseorang
dinilai berdasarkan pandangannya terhadap kehidupan duniawi. Kaum sufi juga
berpendapat bahwa kenikmatan hidup duniawi bukanlah tujuan, tetapi sekedar
jembatan. Oleh karena itu, untuk mencapai kesempurnaan dan kesucian yang
pertama dan utama dilakukan adalah menguasai hawa nafsu. Sebab, menurut Al-Ghazali, tak terkontrolnya hawa
nafsu yang ingin mengecap kenikmatan hidup duniawi adalah sumber utama dari kerusakan akhlak.[7]
Oleh karena itu, dalam
rangka pendidikan mental-spiritual, metode yang ditempuh para sufi adalah
menanamkan rasa benci kepada kehidupan duniawi untuk mencintai Tuhan. Esensi cinta
kepada Tuhan adalah melawan hawa nafsu. Bagi sufi, keunggulan seseorang
bukanlah diukur dari tumpukan harta yang dimilikinya, bukan pula dilihat dari
pangkat yang dijabatnya. Nilai seseorang tidak dilihat dari bentuk tubuh yang
dimilikinya, tetapi terletak pada akhlak pribadi yang diterapkannya.
Tasawuf akhlaki merupakan
gabungan antara ilmu tasawuf dan ilmu akhlak. Tasawuf akhlaki dapat terealissi
secara utuh jika pengetahuan dan ibadah kepada Allahdi buktikan dalam kehidupan
social. Dalam tasawuf akhlaki mempunyai tahap sistem pembinaan akhlak
diantaranya: Takhalli, Tahalli dan Tajalli.
- Takhalli
Takhalli merupakan langkah pertama yang harus di lakukan oleh
seorang sufi. Takhalli adalah usaha membersihkan atau mengosongkan diri dari
perilaku dan akhlak tercela, baik maksiat batin yang telah disebutkan.
Maksiat-maksiat ini mesti dibersihkan, karena menurut para sufi semua itu
adalah najis maknawiyah yang menghalangi seseorang untuk dapat dekat dengan
tuhannya, sebagaiman najis zati yang menghalangi seseorang untuk melakukan
ibadah kepada-Nya.
Takhalli berarti melepaskan
diri dari ketergantungan kepada kelezatan hidup di dunia dengan melenyapkan
doprongan hawa nafsu yang cenderung kepada keburukan.
- Tahalli
Tahalli adalah upaya mengisi dan menghiasi diri dengan jalan
membiasakan diri dengan sikap, perilaku, dan akhlak terpuji. Tahapan tahalli
dilakukan kaum sufi setelah mengosongkan jiwa dari akhlak-akhlak tercela.
Dengan menjalankan ketentuan agama baik yang bersifat eksternal (luar) maupun
internal (dalam). Yang disebut aspek luar adalah kewajiban-kewajiban yang
bersifat formal seperti sholat, puasa, haji dan lain - lain.
Dan adapun yang bersifat
dalam adalah seperti keimanan, ketaatan dan kecintaan kepada Tuhan. Apabila
sifat-sifat buruk telah di buang, kemudian sifat-sifat baik ditanamkan, maka
akan lahirlah kebiasaan-kebiasaan baik, akhlak yang mulia. Berbuat, bertingkah
laku, bertindak dalam bimbingan sifat-sifat yang mulia yang telah ditanamkan
dalam diri.
- Tajalli
Untuk pemantapan dan pendalaman materi yang telah dilalui pada fase
tahalli, maka rangkaian pendidikan akhlak selanjutnya adalah fase
tajalli. Kata tajalli bermakna terungkapnya nur ghaib. Agar hasil
yang telah diperoleh jiwa dan organ-organ tubuh yang telah terisi dengan
butir-butir mutiara akhlak dan sudah terbiasa melakukan perbuatan-perbuatan
yang luhur tidak berkurang, maka rasa ketuhanan perlu dihayati lebih lanjut.
Kebiasaan yang dilakukan dengan kesadaran optimum dan rasa kecintaan yang
mendalam dalam dirinya akan menumbuhkan rasa rindu kepada-Nya.
Tingkat kesempurnaan
kesuciaan jiwa dalam pandangan para sufi hanya dapat diraih melalui rasa cinta
kepada Allah. Keberadaan dekat dapat diraih melalui rasa cinta kepada Allah.
dekat dengan Allah hanya akan dapat diperoleh dengan kebersihan jiwa. Jalan
menuju kedekatan pada Allah menurut para sufi dapat dilakukan dengan dua usaha
yaitu dengan mulazamah dan mukhalafah. Dan untuk memperdalam dan melenggangkan rasa kedekatan pada Tuhan,
para sufi mengajarkan hal-hal berikut: Munajat, munasabah, muraqobah, katsrat
ad-dzikr, dzikir al-maut, dan tafakur.
B. Tokoh-tokoh Tasawuf Ahklaqi
1. Hasan Al-Bashri
Nama lengkapnya Abu Sa’id
Al-Hasan Bin Yasar. Beliau adalah seorang zahid yang amat masyhur di kalangan
tabiin. Dia lahir di Madinah pada tahun 21 H (624 M), dan meninggal di
Basrahpada tahun 110 (726 M). ayahnya bernama Zaid Bin Tsabit, seorang budak
yang kemudian menjadi sekertaris Nabi Muhammad Saw, ibunya adalah hamba dari
istri Nabi yaitu Ummu Salamah.
Hasan
Al-Basri yang mula-mula menyediakan waktunya untuk memperbincangkan ilmu-ilmu
kebatinan, kemurnian akhlak, dan usaha menyucikan jiwa di Masjid Basrah. Ajaran-ajarannya tentang kerohanian senantisa
didasarkan pada sunnah Nabi. Para sahabat Nabi yang masih hidup di zaman itu
pun mengakui kebesarannya. Puncak keilmuannya beliau peroleh di Basrah. Beliau
sangat terkenal dengan keilmuannya yang sangat dalam. Disamping sebagai zahid,
Ia juga terkenal sebagai seorang yang wara’ dan berani dalam memperjuangkan
kebenaran.
Dan beliau adalah orang yang
pertama kali memunculkan ajaran dengan sikap mental dan rasa cemas (khaul) dan
harap (raja’) sebagai cirri kehidupan sufi. Menurut Al-Bashri, yang dimaksud
dengan cemas atau takut adalah sesuatu perasaan yang timbul karena banyak
berbuat salah dan sering lalai kepada Allah. Rasa takut akan mendorong
seseorang untuk mempertinggi nilai dan kadar pengabdiannya dengan harap
(raja’), ampunan dan anugerah Allah.
Ia
pernah berkata, “Demikian takutnya, sehingga ia seakan – akan ia merasa bahwa
neraka itu hanya di jadikan untuk ia (Hasan Al-Basri).”[8]
Adapun ajaran-ajaran Hasan
Al-Bashri dapat dilihat dari ungkapan-ungkapannya seperti yang dikutip oleh
Hamka sebagai berikut:
a. Perasaan takut yang menyebabkan hatimu tentram lebih
baik dari pada rasa tentram yang menimbulkan perasaan takut.
b. Dunia adalah negri tempat beramal. Barang siapa yang
bertemu dunia dengan perasaan benci dan zuhud, ia akan berbahagia dan
memperoleh faedah darinya. Namun barang siapa yang bertemu dunia dengan
perasaan rindu dan hatinya tertambat pada dunia, ia akan sengsara dan
berhadapan dengan penderitaan yang tidak dapat ditanggungnya.
a. Tafakur membawa kita pada kebaiakan dan berusaha
mengerjakannya. Menyesal atas perbuatan jahat membuat kita tidak mengulanginya
lagi. Sesuatu yang fana bagaimanapun tidak akan menyamai yang baqa’ betapapun
sedikitnya. Waspadalah terhadap negri
yang cepat datang dan pergi serta penuh tipuan.
b. Dunia ini adalah seorang janda tua yang telah bungkuk
dan beberapa kali ditinggalkan suaminya.
c. Orang yang beriman akan senantiasa berduka cita pada
pagi dan sore hari karena berada diantara perasaan takut, yaitu takut mengenang
dosa yang telah lampau dan takut memikirkan ajal yang masih tinggal dan bahaya
yang akan mengancam.
d. Hendaklah setiap orang sadar akan memikrkan kematian
yang senntiasa mengancamnya dan kiamat yang akan menagih janjinya.
e. Banyak duka cita di dunia memperteguh semangat amal
shaleh.
Berkaitan
dengan ajaran Al-Bashri, Muhammad Musthafa seorang guru besar filsafat islam
menyatakan bahwa kemungkinan tasawuf
Hasan Al-Bashri didasari oleh rasa takut siksa Tuhan di dalam neraka.
Setelah diteliti ternyata bukan perasaan takut terhadap siksaan yang mendasari
tasawufnya, tetapi kebesaran jiwanya akan kekurangan dan kelalain dirinya yang
mendasari tasawuf. Sebagaimana sabda Nabi: “Orang beriman yang selalu mengingat
dosa-dosa yang pernah dilakukannya adalah laksana orang yang duduk di bawah
gunung besar yang senantiasa merasa takut gunung itu akan menimpa dirinya”.
2. Al-Muhasibi
Nama lengkapnya Abu ‘Abdillah Al-Harits bin Asad
Al-Bashri Al-Baghdadi Al-Muhasibi. Beliau terkenal dengna sebutan Al-Muhasibi,
beliau lahir di Bashrah, Irak, pada tahun 165 H (781 M) dan beliau meninggal
pada tahun 243 H ( 857 M) di Baghdad Irak. Beliau adalah seorang sufi dan ulama
besar yang dikenal dan menguasai beberapa bidang ilmu seperti: Hadits. dan
Fiqih. Dan beliau juga merupakan figur sufi yang dikenal senantiasa menjaga dan
mawas diri terhadap perbuatan dosa. beliau juga sering kali mengintropeksi diri
menurut amal yang dilakukannya. [9]
Al-Muhasibi memandang bahwa jalan keselamatan hanya dapat
di tempuh melalui ketaqwaan kepada Allah. Hamka mengutip kata-kata dari
Al-Muhasibi” Barang siapa yang telah bersih hatinya karena
senantiasa muroqobah dan ikhlas, maka akan berhiaslah lahirnya dengan mujahadah
(perjuangan) dan mengikuti contoh yang ditinggalkan Rasulallah Saw”.
Al–Muhasibi
juga berbicara teentang Ma’rifat. Menurutnya, Ma’rifat harus ditempuh melalui
jalan tasawuf yang mendasarkan pada Al-Qur’an dan Sunnah. Untuk mencapai
Ma’rifat, diperlukakan tahapan-tahapan yaitu yang pertama, taat. Awal dari kecintaan kepada Allah adalah taat. Yang
kedua, Khauf (rasa takut) dan Raja’ (pengharapan). Menurutnya Khauf dan Raja’
menempati posisi yang penting dalam perjalanan seseorang dalam membersihkan
jiwa.
3.
Al-Qusyairi
Nama
lengkapnya adalah ‘Abdul Karim bin Hawazim, lahir tahun 376 H di Istiwa,
kawasan Nishafur, salah satu pusat ilmu pengetahuan pada masanya. Beliau meninggal pada tahun 465 H. Beliau
sangat mengecam keras para sufi pada
masanya karena kegemaran mereka menggunakan pakaian orang-orang miskin,
sementara tindakan mereka pada saat yang sama bertentangan dengan pakian
mereka. Dia menekankan bahwa kesehatan batin, dengan berpegang teguh pada
Al-Qur’an dan Sunnah, lebih penting ketimbang pakaian lahiriah. Menurut
Al-Qusyairi, upaya pengembalian arah tasawuf harus dengan cara merujuknya pada
doktrin ahlussunnah.
Al-Qusyairi
mencoba mengadakan pembaharuan terhadap tasawuf. Ia mengemukakan konsep-konsep
mengkompromikan antara syariat
dengan hakikat, antara yang dzahir
dengan yang bathin
dengan senantiasa berpegang teguh kepada Al-Qur’an dan Assunnah. [10]
4.
Al-Ghazali
Nama
lengkapnya adalah Abu Hamid Muhammad bin Muhammad bin Muhammad bin Ta’us
Ath-Thusi Asy-Syafi’i Al-Ghazali.
Beliau dipanggil Al-Ghazali karena dilahirkan di kampung Ghazlah. Al-Ghazali
lahir pada tahun 450 H/ 1057 M di kampung Ghazlah sebuah kota di Khurasan, Iran. Beliau meninggal di kota
kelahirannya pada tanggal 19
Desember
tahun 505 H/ 1111 M. Di masa hidupnya, bertepatan dengan masa pemerintahan
Perdana Menteri Nizamul Muluk dari Kerajaan Bani Saljuk. Dan
Al-Ghazali mendapat
gelar “ hujjah al-islam”.
Al-Ghazali
dikenal sebagai Fuqoha, Mutakallim, Filosof, Sufi, dan Ahli Didik yang dikagumi
oleh Ulama-ulama besar, karena sangat dalam dan luas ilmunya. Al-Ghazali mempelajari ilmu fiqh kepada Ahmad bin
Muhammad Ar-Rizkani. Kemudian beliau melanjutkan ke Nizhamiyah di Naisabur, dan
disinilah beliau berguru kepada Imam Haramain (Al-Juwaini, wafat 478 H/ 1086
M). Selama di Naisabur, beliau juga belajar teori-teori Tasawuf kepada Yusuf
An-Nasaj.
Al-Ghazali sering
berpendapat bahwa Mutakallimin sering melakukan kekeliruan, karena menjadikan
Filsafat sebagai dasar berpikir dalam menguraikan Ilmu Kalam. Oleh karena itu,
kebenaran ilmunya hanya sampai ke penghujung Filsafat, tidak bisa menggali
sampai ke akar-akarnya. Maka hasilnya, ilmu tersebut tidak akan dapat
memperkuat pendirian ketuhanan bahkan hanya menggoyahkan saja.
Al-Ghazali
seperti halnya Al-Qusyairi yang mencoba mengembalikan tasawuf dibawah bimbingan
dan petunjuk Al-Qur’an dan Sunnah. Al-Ghazali berpendapat bahwa sebelum
mempelajari dan mengamalkan tasawuf orang harus menperdalam ilmu tentang
syariat dan aqidah terlebih dahulu dan menjalankannya secara tekun dan
sempurna. Menurut Al-Ghazali bahwa ma’rifah dan mahabbah adalah
setinggi-tingginya tingkat yang dicapai seorang sufi dan pengetahuan yang
diperoleh dengan akal.
Keberhasilan
Al-Ghazali mengkompromikan syariat dan hakikat, dikatakan bukan tidak memiliki
kelemahan. Penempatan syariat dibawah tarekat dan hakikat telah menimbulkan
suatu efek dimana para sufi selalu merasa superior, merasa menjadi golongan
khawaj yang memiliki kelebihan atau keunggulan dari manusia biasa.
Terlepas
dari kekurangan–kekurangannya, Al-Ghazali adalah seorang sufi ulum yang telah
berhasil membangkitkan gairah keagamaan yang mulai redup pada waktu itu dan
mengembalikan penghayatan agama atau ajaran tasawuf kepada bingkai ajaran
Al-Qur’an dan As-Sunnah.
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Dalam rangka pendidikan
mental-spiritual, metode yang ditempuh para sufi adalah menanamkan rasa benci
kepada kehidupan duniawi. Ini berarti melpaskan kesenangan duniawi untuk
mencari Tuhan. Esensi cinta kepada Tuhan adalah melawan hawa nafsu. Bagi kaum
sufi,keunggulan seseorang bukanlah diukur dari tumpukan harta yang dimiliki,
bukan pula dilihat dari pangkat yang di jabatnya dan bukan pula dari otoritas
yang dimilikinya. Nilai seseorang tidak dilihat dari bentuk tubuh yang dimilikinya,
tetapi terletak pada akhlak pribadinya yang diterapkannya.
Para
sufi berpendapat bahwa untuk merehabilitasi sikap mental yang tidak baik di
perlukan terapi yang tidak hanya dari aspek lahiriah. Itulah sebabnya, pada
tahap-tahap awal memasuki kehidupan tasawuf, seorang diharuskan melakukan
amalan dan latihan kerohanian yang cukupa berat. Tujuannya adalah menguasai
hawa nafsu, menekan hawa nafsu sampai ketitik terendah hingga mematikan hawa
nafsu.
DAFTAR PUSTAKAAN
Anwar,
Rosihin. Akhlaq Tasawuf. Bandung. Pustaka Setia. 2009.
Amin
Syukur, Rasionalisme dalam Tasawuf. IAIN Wali Songo. Semarang, 1994.
Edidarmo Toto, Mulyadi, Akidah Akhlak.Semarang.PT Karya Toha Putra. 2009.
Hamka, Tasawuf moderen, pustaka panjimas,
jakarta 1990.
Mahdi.
Pengantar Akhlaq Tasawuf. Cirebon. CV. Pangger. 2008.
M. Solihin, Tokoh-tokoh Sufi Lintas Zaman.
Pustaka Setia. Bandung, 2003.
Mahfud, Akhlaq
Tasawuf, Cirebon, At-Tarbiyah, 2011.
Muhammad Amir Kurdi, tt.,Tanwi al-Qulub fi Mu’amalah ‘Alam al-Ghuyub,
surabaya, Bungkul indah, 2003.
Mustofa, Akhlak Tasawuf. Bandung. Pustaka
Setia. 2010, Cetakan Kelima.
M. Solihin dan Rosihon Anwar, Ilmu Tasawuf.
Bandung. Pustaka Setia. 2008,
Cetakan Pertama.
[1] Mustaien,Makalah Akhlak Tasawuf: Guru SMPN 31 Surabaya Maret 2014.
[2] Kurdi Muhammad A, al-Qulub fi Mu’amalah ‘Alam a-Ghuyub,Surabaya:
Bungkul Indah,. 2003, 406.
[3] Mahfud, Akhlak Tasawuf, Cirebon: At Tarbiayah, 2011, 33.
[4] Rosihin Anwar, Akhlak Tasawuf, Bandung: Pustaka Setia,
2009,...
[5] Syukur Amin, Rasionalisme dalam Tasawuf, Semarang:
IAIN Wali Songo, 1994, ....
[6] Toto Edidarmo, Akidah Akhlak, Semarang: PT Karya Toha Putra, 2009, 166.
[7] Mahdi, Pengantar Akhlak Tasawuf, Cirebon: CV. Pangger, 2008, .....
[8] Hamka, Tasawuf Moderen, Jakarta: Pustaka
Panjimas, 1990,72.
[9] Solihin M, Tokoh-tokoh Sufi Lintas Zaman, Bandung: Pustaka Setia, 2003, 47.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar