BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Salah satu sifat Allah yang Maha Sempurna itu adalah
Maha Suci. Allah adalah Dzat yang Maha Suci dan mencintai kesucian dan kebersihan.
Agar seseorang mendapatkan cinta dari Allah, maka dia harus suci dan bersih
baik lahir maupun batin. Kesucian secara lahir bisa ditempuh dengan memperhatikan
aturan-aturan syariah seperti dalam masalah thaharah. Thaharah memiliki kedudukan yang sangat penting dalam syariat
Islam, karena merupakan syarat pokok untuk dilakukannya kewajiban yang sangat
penting seperti shalat. Permasalahan thaharah ini juga hanya didapatkan dalam
aturan syariat Islam dan tidak ditemukan dalam aturan agama lain.[1]
Dalam al-Quran ditegaskan bahwa Allah mencintai
orang-orang yang selalu menjaga kebersihan dan kesucian, firmanNya :
¨bÎ)
©!$#
=Ïtä
tûüÎ/º§qG9$#
=Ïtäur
úïÌÎdgsÜtFßJø9$#
ÇËËËÈ
“
Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertaubat dan menyukai orang-orang
yang mensucikan diri.”[2] Dan
dalam hadis Rasulullah Saw menyatakan bahwa kebersihan adalah sebagian dari
iman.[3]
Istinja’
adalah bagian dari kebersihan dan kesucian yang wajib kita lakukan dimana saja
berada setelah buang hajat ( besar atau kecil ), di rumah, kantor, termasuk
ditempat-tempat yang mewah seperti di pesawat, kapal pesiar, di hotel
berbintang, di mall-mall yang ada di metropolis.
Sering kita mendengar, membaca dan mengalami sendiri
dimana pada saat berada di kamar kecil sebuah mall atau hotel bahkan di
kendaraan seperti kereta api dan pesawat terbang tidak tersedia air yang ada
hanya tisu untuk membersihkan atau beristinja’ ini sebuah fenomena yang tumbuh
dari kemajuan jaman yang canggih dan ditandai oleh perkembangan ilmu-teknologi
sedagkan di masa Rasulullah Saw juga belum dikenal benda yang disebut tisu.
B.
Rumusan
Masalah
Dari latar belakang
yang ada maka perlu kami bahas beberapa rumusan masalah, antara lain :
1. Bagimanakah
pengertian istinja’ ?
2. Bagimanakah
hukum istinja’ dengan tissu ?
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian
Istinja’
Istinja’ adalah hal membersihkan kedua pintu
alat vital manusia, yaitu dubur qubul dari kotoran atau cairan selain air mani,
yang keluar dari keduanya.[4] Istinja'
atau bercebok merupakan kegiatan membersihkan kotoran yang keluar dari dua
jalan (qubul dan dubur).[5]
B.
Istinja’
Dengan Tissu
Apabila keluar kotoran dari salah
satu dua pintu, wajib istinja’ dengan
air atau dengan tiga buah batu; yang lebih baik mula-mula dengan batu atau
lainnya, kemudian dengan air.[6]
Dalam kamus istilah fiqh,
disebutkan bahwa alat yang dipergunakan untuk istinja’, ialah air dan batu atau
benda-benda lain yang sejenis dengan batu, sepert : kayu, kertas, tembikar,
bata dan lain sebagainya, dengan catatan benda-benda tersebut sudah tidak
terpakai ( ghaira muhtaram ).[7]
Kemudian di dalam hadits riwayat
Muslim disebutkan, dari Abdurrahman bin Yazid dari Salman Ra, bahwa :
قِيلَ لَهُ
قَدْ عَلَّمَكُمْ نَبِيُّكُمْ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
كُلَّ شَيْءٍ حَتَّى الْخِرَاءَةَ قَالَ فَقَالَ أَجَلْ لَقَدْ
نَهَانَا أَنْ نَسْتَقْبِلَ الْقِبْلَةَ لِغَائِطٍ أَوْ بَوْلٍ
أَوْ أَنْ نَسْتَنْجِيَ بِالْيَمِينِ أَوْ أَنْ نَسْتَنْجِيَ بِأَقَلَّ
مِنْ ثَلَاثَةِ أَحْجَارٍ أَوْ أَنْ نَسْتَنْجِيَ بِرَجِيعٍ أَوْ بِعَظْمٍ
“Ditanyakan kepadanya, “(Apakah) Nabi kalian telah mengajarkan segala sesuatu
hingga adab beristinja?” Abdurrahman berkata, “Salman menjawab, “Ya. Sungguh
beliau telah melarang kami untuk menghadap kiblat saat buang air besar dan saat
buang air kecil, serta beliau melarang kami untuk beristinja’ dengan tangan
kanan, beristinja’ dengan batu kurang dari tiga buah, atau beristinja’ dengan
kotoran hewan atau tulang.”
Dalam
hadis diatas dijelaskan bahwa : Pertama
istinja’ harus dengan tiga buah batu yang suci, Kedua tidak boleh dengan kotoran, tulang, makanan dan segala sesuatu yang
dihormati. Ketiga yang paling utama adalah istinja’ (istijmar) dengan batu atau yang serupa seperti tissu (sapu tangan), tanah, dan
semisalnya, kemudian diteruskan dengan air, karena batu menghilangkan benda
najis dan air mensucikannya, maka lebih sempurna. Keempat manusia diberi pilihan di antara istinja dengan air atau dengan batu dan
semisalnya. Kelima jika ia ingin salah satunya maka air lebih utama karena ia lebih mensucikan
tempat dan menghilangkan benda ('ain) atau bekas. Ia lebih membersihkan. Keenam jika ia hanya ingin memakai batu saja, cukup tiga buah batu apabila sudah bisa membersihkan tempat. uika belum membersihkan, ia menambah empat dan lima hingga benar-benar
bersih dan yang utama adalah dalam bilangan ganjil. Kedelapan tidak boleh istinja’ dengan
tangan kanan, kecuali Jika tangan kiri terputus atau patah atau sakit atau yang
lainnya, maka istinja’ dengan tangan kanannya
diperbolehkan.[8]
Syarat Istinja’ (bersuci) dengan batu atau
seumpamanya seperti kayu, atau kain atau kertas (tissu), maka syaratnya adalah
Thahir dan kasat lagi bukan muhtaram yakni bukan barang yang diharamkan
pada Syara’ dan syaratnya juga jangan yang sudah kering najisnya, dan wajib
dengan 3 (tiga) kali sapuan. Adapun afdhalnya adalah istinja’ itu lebih dahulu
dengan seumpama batu kemudian dibasuh dengan air.[9]
BAB III
PENUTUP
1.
Kesimpulan
a.
Istinja’ adalah hal membersihkan kedua pintu
alat vital manusia, yaitu dubur qubul dari kotoran atau cairan selain air mani,
yang keluar dari keduanya.
b. Istinja’
(bersuci)
dengan batu atau seumpamanya seperti kayu, atau kain atau kertas (tissu), maka
syaratnya adalah thahir ( tidak najis
) dan kasat bukan muhtaram yakni
bukan barang yang diharamkan dan syaratnya juga jangan yang sudah kering najisnya
serta wajib dengan 3 (tiga) kali sapuan.
2.
Saran
Makalah ini jauh dari
sempurna untuk itu perlu kritik dan masukan agar bisa menjadi makalah bersama
dan rujukan.
Daftar
Pustaka
Abdul Mujib, M, Tholhah, Mabrur dan
AM, Syafiah. Kamus Istilah Fiqih. Jakarta:
Pustaka Firdaus, 2010.
Al-Lajnah ad Daimah lil Buhuts al
‘Ilmiah wal Ifta’, “Kaifiyatut Thaharah Wa Sholatul Maridh”. terjemah
oleh Muhammad Iqbal A. Gazali, 2010, IslamHouse.
Al Habib Usman bin Abdullah bin
‘Aqil bin Yahya Al Alawi Al Husaini,
Arrsyadul Anam Fi Tarjamati Arkanil Islam, dalam http://hutaraja.files.wordpress.com/2012/05/irsyadul-anam-fi-tarjamati
arkanil-islam-al-alawi-al-husaini-terjemah.pdf
Rasyid, Sulaiman. Fiqh Islam. Bandung: Sinar Baru, 1992.
[2] Al-Qurãn,
2 (Al-Baqarah): 222.
[3] HR.
Ahmad
[4] Abdul
Mujib, M, Tholhah, Mabrur dan AM, Syafiah. Kamus
Istilah Fiqih, (Jakarta: Pustaka Firdaus,
2010), 129-130.
[5] Anonim
dalam http://warungbelajarbebas.blogspot.com/2013/01/istinja-menggunakan-tissue.html(08/05/2014)
[6] Rasyid,
Sulaiman. Fiqh Islam, (Bandung: Sinar
Baru, 1992), 36.
[7] Abdul
Mujib, Kamus Istilah Fiqih, 130.
[8] Al-lajnah ad Daimah lil Buhuts al ‘Ilmiah
wal Ifta’, “Kaifiyatut Thaharah Wa Sholatul Maridh”, terjemah oleh
Muhammad Iqbal A. Gazali, 2010, IslamHouse. hal. 1-2.
[9] Al Habib
Usman bin Abdullah bin ‘Aqil bin Yahya Al Alawi Al Husaini,
Arrsyadul Anam Fi Tarjamati Arkanil Islam,
Tidak ada komentar:
Posting Komentar