Filsafat Agama
Filsafat
agama merupakan refleksi filosofis
mengenai agama dengan menggunakan metode filsafat secara sistematis dalam
menganalisis isi pokok suatu agama, seperti konsep Tuhan. Filsafat agama berupaya mencari pembenaran rasional
dari gerakan agama tertentu, serta memberi penilaian terhadapnya sehingga
bersifat normatif.
Konsep tentang Tuhan
Secara
filsafat,
prestasi dalam pencarian Tuhan biasanya berujung pada penemuan eksistensi Tuhan
saja, dan tidak sampai pada substansi tentang Tuhan. Dalam istilah filsafat
eksistensi Tuhan itu dikenal sebagai absolut, berbeda (distinct) dan unik.
Absolut artinya keberadaannya mutlak bukannya relatif. Hal ini dapat dipahami,
bahwa pernyataan semua kebenaran itu relatif itu tidak benar. Kalau semua itu
relatif, bagaimana kita bisa mengetahui bahwa sesuatu itu relatif. Padahal yang
relatif itu menjadi satu-satunya eksistensi realitas. Ibarat warna yang ada di
seluruh jagat ini hanya putih, bagaimana kita bisa tahu putih padahal tidak ada
pembanding selain putih. Dengan demikian tidak bisa disangkal adanya kebenaran
itu relatif, dan secara konsisten tidak bisa disangkal pula adanya kebenaran
mutlak itu. Dengan kemutlakannya, ia tidak akan ada yang menyamai atau
diperbandingkan dengan yang lain (distinct). Kalau Tuhan dapat
diperbandingkan tentu tidak mutlak lagi atau menjadi relatif. Karena tidak
dapat diperbandingkan maka tuhan bersifat unik, dan hanya ada dia satu-satunya.
Kalau ada yang lain, berarti dia tidak lagi mutlak.
Dalam
gagasan Nietzsche, istilah "Tuhan" juga merujuk pada segala
sesuatu yang dianggap mutlak kebenarannya. Sedangkan Nietzsche berpendapat
tiada "Kebenaran Mutlak"; yang ada hanyalah "Kesalahan yang
tak-terbantahkan". Karenanya, dia berkata, "Tuhan telah mati".
"Kesalahan yang tak-terbantahkan" dengan "Kebenaran yang-tak terbantahkan"
tidaklah memiliki perbedaan yang signifikan. Sekiranya pemikiran Nietszhe ini
dimanfaatkan untuk melanjutkan proses pencairan Tuhan, maka Tuhan itu suatu
eksistensi yang tak terbantahkan. Dengan demikian eksistensi absolut, mutlak
dan tak terbantahkan itu sama saja. Jadi, persoalan umat manusia dalam proses
pencairan Tuhan tiada lain proses penentuan peletakan dirinya kepada (segala)
sesuatu yang diterimanya sebagai 'tak terbantahkan', atau mutlak, atau absolut.
Muhammad 'Imaduddin 'Abdulrahim Ph.D mendefinisikan Tuhan sebagai segala sesuatu
yang dianggap penting dan dipentingkan sehingga dirinya rela didominirnya.[1]
Konsekuensi eksistensi Tuhan
Dengan
kemutlakannya, Tuhan tentunya tidak terikat oleh tempat dan waktu. Baginya
tidak dipengaruhi yang dulu atau yang akan datang. Tuhan tidak memerlukan
tempat, sehingga pertanyaan tentang dimana Tuhan hanya akan membatasi
kekuasaannya. Maka baginya tidak ada kapan lahir atau kapan mati.
Manusia
dalam mencari Tuhan dengan bekal kemampuan penggunaan akalnya dapat mencapai
tingkat eksistensinya. Kemungkinan sejauh ini, kemutlakan Tuhan menyebabkan
manusia yang relatif itu tidak dapat menjangkau substansi Tuhan. Dengan
demikian informasi tentang substansi Tuhan itu apa, tentunya berasal dari Sang
Mutlak atau Tuhan itu sendiri.
Di
dunia ini banyak agama
yang mengklaim sebagai pembawa pesan Tuhan. Bahkan ada agama yang dibuat
manusia (yang relatif) termasuk pembuatan substansi Tuhan itu tentu. Karena
banyaknya nama dan ajaran agama yang bervariasi tidak mungkin semuanya benar.
Kalau substansi mutlak ini bervariasi, maka hal itu bertentangan dengan
eksistensinya yang unik. Untuk menemukan informasi tentang substansi yang
mutlak, yang unik dan yang distinct itu dapat menggunakan uji autentistas
sumber informasinya. Terutama terkait dengan informasi Tuhan dalam
memperkenalkan dirinya kepada manusia apakah mencerminkan eksistensinya itu.[2]
Thomas
Hobbes :
Thomas Hobbes dari Malmesbury (lahir di Malmesbury, Wiltshire, Inggris, 5 April 1588 – meninggal di Derbyshire, Inggris, 4 Desember 1679 pada umur 91 tahun) adalah seorang filsuf Inggris yang beraliran empirisme.[1][2][3] Pandangannya yang terkenal adalah
konsep manusia dari sudut pandang empirisme-materialisme, serta pandangan tentang hubungan
manusia dengan sistem negara.
Hobbes
adalah seorang materialis. Ia meyakini bahwa manusia (termasuk pikirannya, dan
bahkan Tuhan)
terdiri dari materi. Meskipun tidak pernah disebutkan secara eksplisit dalam
karya-karyanya, Hobbes telah menyerang lawannya yang meyakini hal-hal
imaterial.
Hobbes
dikenal sebagai salah seorang perintis kemandirian filsafat. Hobbes berpendapat
bahwa selama ini, filsafat banyak disusupi gagasan religius.[10]
Hobbes menegaskan bahwa obyek filsafat adalah obyek-obyek lahiriah yang
bergerak beserta ciri-cirinya. Menurutnya, substansi yang tak dapat berubah,
seperti Allah,
dan substansi yang tak dapat diraba secara empiris, seperti roh, malaikat,
dan sebagainya, bukanlah obyek dari filsafat.[10]
Hobbes menyatakan bahwa filsafat harus membatasi diri pada masalah kontrol atas
alam.
Berdasarkan pemikiran
tersebut, Hobbes menyatakan hanya ada empat bidang di dalam filsafat, yakni:
- Geometri, yang merupakan refleksi atas benda-benda dalam ruang.[10]
- Fisika, yang merupakan refleksi timbal-balik benda-benda dan gerak mereka.[10]
- Etika, yang dalam pengertian Hobbes dekat dengan psikologi.[10] Maksudnya, refleksi atas hasrat dan perasaan manusia serta gerak-gerak mentalnya.[10]
- Politik, yang adalah refleksi atas institusi-institusi sosial.
Hobbes menyatakan
bahwa keempat bidang tersebut saling berhubungan satu sama lain. Karena itulah,
Hobbes berpandangan bahwa masyarakat dan manusia dapat dilihat melalui gerak
dan materi dalam fisika.[3]
John Locke
John Locke (lahir 29 Agustus 1632 – meninggal 28 Oktober 1704 pada umur 72 tahun) adalah seorang filsuf dari Inggris yang menjadi salah satu tokoh utama
dari pendekatan empirisme. Selain itu, di dalam bidang filsafat politik, Locke juga dikenal sebagai filsuf
negara liberal. Bersama dengan rekannya, Isaac Newton, Locke dipandang sebagai salah satu
figur terpenting di era Pencerahan.[3][4] Selain itu, Locke menandai lahirnya
era Modern dan juga era pasca-Descartes
(post-Cartesian), karena pendekatan Descartes tidak lagi menjadi satu-satunya
pendekatan yang dominan di dalam pendekatan filsafat waktu itu.[4][5][6] Kemudian Locke juga menekankan
pentingnya pendekatan empiris dan juga pentingnya eksperimen-eksperimen di
dalam mengembangkan ilmu pengetahuan.
Tulisan-tulisan Locke tidak hanya
berhubungan dengan filsafat, tetapi juga tentang pendidikan, ekonomi, teologi, dan medis. Karya-karya Locke yang terpenting adalah "Esai tentang Pemahaman
Manusia" (Essay Concerning Human
Understanding), "Tulisan-Tulisan tentang Toleransi" (Letters
of Toleration), dan "Dua Tulisan tentang Pemerintahan" (Two
Treatises of Government).
Pemikiran
Locke tentang pengetahuan memiliki pengaruh besar terhadap para filsuf
setelahnya, khususnya David Hume di Inggris dan Kant di
Jerman.
Pandangan Locke tentang proses manusia mendapat pengetahuan memiliki dua
implikasi penting. Pertama, munculnya anggapan bahwa seluruh pengetahuan
manusia berasal dari pengalaman, dan tiadanya pengetahuan secara apriori
(sebelum pengalaman) sebagaimana yang dikatakan Descartes.[2]
Kedua, semua hal yang manusia ketahui melalui pengalaman, bukanlah obyek atau
benda pada dirinya sendiri, melainkan hanya kesan-kesan indrawi dari hal itu
yang diterima oleh panca indra manusia.
Pertama,
mengenai pengatahuan yang berasal dari pengalaman, berarti segala pengetahuan
manusia sebenarnya hanya merupakan kait-mengait dari pengalaman-pengalaman
sederhana. Konsep ini akan memengaruhi dan dipertajam oleh David Hume di
kemudian hari, dan akhirnya mendapat bentuk paling tajam di dalam filsafat Kant,
yang merupakan seorang filsuf paling berpengaruh di era filsafat modern.
Kant menolak semua kemungkinan metafisika, maksudnya manusia tidak dapat
mengetahui sesuatu apapun di luar panca-indranya. Lebih jauh, Kant menyatakan
bahwa pengetahuan atau pemikiran tentang Allah telah kehilangan legitimasi
karena tidak mungkin lagi, sebab Allah berada di luar jangkauan indrawi
manusia. Tentu saja pandangan Kant ini telah banyak dikritik, namun pengaruhnya
tetap besar.
Kedua,
bahwa manusia dalam pengalamannya sebenarnya hanya menerima kesan-kesan indrawi
yang ditangkap oleh panca indra kita dari benda-benda atau hal-hal tertentu,
memiliki implikasi terhadap kecenderungan subyektivisme. Maksudnya
subyektivisme adalah pandangan yang menolak adanya sesuatu yang obyektif, yang
berlaku umum, dan hal itu akan mengarah ke relativisme. Hal itu disebabkan
manusia yang satu dengan yang lain dapat menarik kesimpulan berbeda mengenai
kesan-kesan indrawi mereka masing-masing terhadap suatu hal atau benda. Apa
yang obyektif, yakni benda tersebut sesungguhnya pada dirinya sendiri, tidak
dapat diketahui oleh manusia.[4]
René
Descartes
René Descartes (IPA: ʀəˈne deˈkaʀt; lahir di La
Haye, Perancis, 31 Maret 1596 – meninggal di Stockholm, Swedia, 11 Februari 1650 pada umur 53 tahun), juga dikenal sebagai Renatus
Cartesius dalam literatur berbahasa Latin,
merupakan seorang filsuf
dan matematikawan Perancis.
Karyanya yang terpenting ialah Discours de la méthode (1637) dan Meditationes
de prima Philosophia (1641). Rene Descartes sering disebut sebagai bapak
filsafat modern.
Karya
filsafat Descrates dapat dipahami dalam bingkai konteks pemikiran pada masanya,
yakni adanya pertentangan antara scholasticism dengan keilmuan baru
galilean-copernican. Atas dasar tersebut ia dengan misi filsafatnya berusaha
mendapatkan pengetahuan yang tidak dapat diragukan. Metodenya ialah dengan
meragukan semua pengetahuan yang ada, yang kemudian mengantarkannya pada
kesimpulan bahwa pengetahuan yang ia kategorikan ke dalam tiga bagian dapat
diragukan.
1.
Pengetahuan yang
berasal dari pengalaman inderawi dapat diragukan, semisal kita memasukkan kayu
lurus ke dalam air maka akan tampak bengkok.
2.
Fakta umum tentang
dunia semisal api itu panas dan benda yang berat akan jatuh juga dapat
diragukan. Descrates menyatakan bagaimana jika kita mengalami mimpi yang sama
berkali-kali dan dari situ kita mendapatkan pengetahuan umum tersebut.
3.
Logika dan Matematika
prinsip-prinsip logika dan matematika juga ia ragukan. Ia menyatakan bagaimana
jika ada suatu makhluk yang berkuasa memasukkan ilusi dalam pikiran kita,
dengan kata lain kita berada dalam suatu matriks.
Dari keraguan
tersebut, Descrates hendak mencari pengetahuan apa yang tidak dapat diragukan.
Yang akhirnya mengantarkan pada premisnya Cogito Ergo Sum (aku berpikir
maka aku ada). Baginya eksistensi pikiran manusia adalah sesuatu yang absolut
dan tidak dapat diragukan. Sebab meskipun pemikirannya tentang sesuatu salah,
pikirannya tertipu oleh suatu matriks, ia ragu akan segalanya, tidak dapat
diragukan lagi bahwa pikiran itu sendiri eksis/ada.
Pikiran sendiri bagi
Descrates ialah suatu benda berpikir yang bersifat mental (res cogitans)
bukan bersifat fisik atau material. Dari prinsip awal bahwa pikiran itu eksis
Descrates melanjutkan filsafatnya untuk membuktikan bahwa Tuhan dan benda-benda
itu ada.
Ontologi Tuhan dan Benda
Berangkat dari
pembuktiannya bahwa pikiran itu eksis, filsafatnya membuktikan bahwa Tuhan ada
dan kemudian membuktikan bahwa benda material ada.
Descrates mendasarkan
akan adanya Tuhan pada prinsip bahwa sebab harus lebih besar, sempurna, baik
dari akibat. Dalam pikiran Descrates ia memiliki suatu gagasan tentang Tuhan
adalah suatu makhluk sempurna yang tak terhingga. Gagasan tersebut tidak
mungkin muncul/disebabkan oleh pengalaman dan pikiran diri sendiri, karena
kedua hal tersebut merupakan sesuatu yang tidak sempurna dan dapat diragukan
sehingga tidak memenuhi prinsip sebab lebih sempurna dari akibat. Gagasan
tentang Tuhan yang ada dalam kepala (sebagai akibat) hanya bisa disebabkan oleh
sebuah makhluk sempurna yang menaruhnya dalam pikiran saya, yakni Tuhan.
Setelah membuktikan
adanya Tuhan, Descrates membuktikan bahwa benda material itu eksis. Ia
menyatakan bahwa Tuhan menciptakan manusia dengan ketidakmampuan untuk
membuktikan bahwa benda material itu sejatinya tidak ada. Bahkan Tuhan
menciptakan manusia untuk memiliki kecenderungan pemahaman bahwa benda material
itu eksis. Apabila pemahaman benda material eksis hanya merupakan sebuah
matriks kompleks yang menipu pikiran manusia, itu berarti Tuhan adalah penipu,
dan bagi Descrates, penipu ialah ketidaksempurnaan. Padahal Tuhan ialah makhluk
yang sempurna, oleh karena itu Tuhan tidak mungkin menipu, sehingga benda
material itu pastilah ada.
Metafisika
Bagi Descrates,
realitas terdiri dari tiga hal. Yakni benda material yang terbatas (objek-objek
fisik seperti meja, kursi, tubuh manusia, dan sebagainya), benda
mental-nonmaterial yang terbatas (pikiran dan jiwa manusia), serta benda mental
yang tak terbatas (Tuhan).
Ia juga membedakan
antara pikiran manusia dan tubuh fisik manusia. Pembagian ini juga
mengantarkannya pada pembagian keilmuan. Realitas material sebagai ranah bagi
keilmuan baru yang dibawa Galileo dan Copernicus, realitas mental bagi keilmuan
dalam bidang agama, etika, dan sejenisnya.
Namun, dualismenya
ini juga yang kerap kali menjadi kritikan bagi berbagai filsuf lainnya seperti
Barkley misalnya. Problem utama dari dualisme tersebut ialah bagaimana pikiran
dan tubuh berinteraksi satu sama lainnya. serta terjebak dalam pilihan ekstrem,
baginya benda hidup selain manusia (contoh:hewan) tidak memiliki pikiran dan
jiwa, sehingga hanya dipandang sebagai bentuk material sama halnya seperti
mesin.[5]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar