Rabu, 07 Mei 2014

ISTINJA' DENGAN TISSU


BAB I

PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang

Salah satu sifat Allah yang Maha Sempurna itu adalah Maha Suci. Allah adalah Dzat yang Maha Suci dan mencintai kesucian dan kebersihan. Agar seseorang mendapatkan cinta dari Allah, maka dia harus suci dan bersih baik lahir maupun batin. Kesucian secara lahir bisa ditempuh dengan memperhatikan aturan-aturan syariah seperti dalam masalah thaharah. Thaharah memiliki kedudukan yang sangat penting dalam syariat Islam, karena merupakan syarat pokok untuk dilakukannya kewajiban yang sangat penting seperti shalat. Permasalahan thaharah ini juga hanya didapatkan dalam aturan syariat Islam dan tidak ditemukan dalam aturan agama lain.[1]

Dalam al-Quran ditegaskan bahwa Allah mencintai orang-orang yang selalu menjaga kebersihan dan kesucian, firmanNya :

š¨bÎ) ©!$# =Ïtä tûüÎ/º§q­G9$# =Ïtäur šúï̍ÎdgsÜtFßJø9$# ÇËËËÈ  

“ Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertaubat dan menyukai orang-orang yang mensucikan diri.”[2] Dan dalam hadis Rasulullah Saw menyatakan bahwa kebersihan adalah sebagian dari iman.[3]

Istinja’ adalah bagian dari kebersihan dan kesucian yang wajib kita lakukan dimana saja berada setelah buang hajat ( besar atau kecil ), di rumah, kantor, termasuk ditempat-tempat yang mewah seperti di pesawat, kapal pesiar, di hotel berbintang, di mall-mall yang ada di metropolis.

Sering kita mendengar, membaca dan mengalami sendiri dimana pada saat berada di kamar kecil sebuah mall atau hotel bahkan di kendaraan seperti kereta api dan pesawat terbang tidak tersedia air yang ada hanya tisu untuk membersihkan atau beristinja’ ini sebuah fenomena yang tumbuh dari kemajuan jaman yang canggih dan ditandai oleh perkembangan ilmu-teknologi sedagkan di masa Rasulullah Saw juga belum dikenal benda yang disebut tisu.

 

B.     Rumusan Masalah

Dari latar belakang yang ada maka perlu kami bahas beberapa rumusan masalah, antara lain :

1.      Bagimanakah pengertian istinja’ ?

2.      Bagimanakah hukum istinja’ dengan tissu ?

 

 

 

 

 

BAB II

PEMBAHASAN

A.    Pengertian Istinja’

Istinja’ adalah hal membersihkan kedua pintu alat vital manusia, yaitu dubur qubul dari kotoran atau cairan selain air mani, yang keluar dari keduanya.[4] Istinja' atau bercebok merupakan kegiatan membersihkan kotoran yang keluar dari dua jalan (qubul dan dubur).[5]

B.     Istinja’ Dengan Tissu

           Apabila keluar kotoran dari salah satu dua pintu, wajib istinja’ dengan air atau dengan tiga buah batu; yang lebih baik mula-mula dengan batu atau lainnya, kemudian dengan air.[6]

Dalam kamus istilah fiqh, disebutkan bahwa alat yang dipergunakan untuk istinja’, ialah air dan batu atau benda-benda lain yang sejenis dengan batu, sepert : kayu, kertas, tembikar, bata dan lain sebagainya, dengan catatan benda-benda tersebut sudah tidak terpakai ( ghaira muhtaram ).[7]

          Kemudian di dalam hadits riwayat Muslim disebutkan, dari Abdurrahman bin Yazid dari Salman Ra, bahwa :

قِيلَ لَهُ قَدْ عَلَّمَكُمْ نَبِيُّكُمْ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كُلَّ شَيْءٍ حَتَّى الْخِرَاءَةَ قَالَ فَقَالَ أَجَلْ لَقَدْ نَهَانَا أَنْ نَسْتَقْبِلَ الْقِبْلَةَ لِغَائِطٍ أَوْ بَوْلٍ أَوْ أَنْ نَسْتَنْجِيَ بِالْيَمِينِ أَوْ أَنْ نَسْتَنْجِيَ بِأَقَلَّ مِنْ ثَلَاثَةِ أَحْجَارٍ أَوْ أَنْ نَسْتَنْجِيَ بِرَجِيعٍ أَوْ بِعَظْمٍ

Ditanyakan kepadanya, “(Apakah) Nabi kalian telah mengajarkan segala sesuatu hingga adab beristinja?” Abdurrahman berkata, “Salman menjawab, “Ya. Sungguh beliau telah melarang kami untuk menghadap kiblat saat buang air besar dan saat buang air kecil, serta beliau melarang kami untuk beristinja’ dengan tangan kanan, beristinja’ dengan batu kurang dari tiga buah, atau beristinja’ dengan kotoran hewan atau tulang.”

            Dalam hadis diatas dijelaskan bahwa : Pertama istinja’ harus dengan tiga buah batu yang suci, Kedua tidak boleh dengan kotoran, tulang, makanan dan segala sesuatu yang dihormati. Ketiga yang paling utama adalah istinja’ (istijmar) dengan batu atau yang serupa seperti tissu (sapu tangan), tanah, dan semisalnya, kemudian diteruskan dengan air, karena batu menghilangkan benda najis dan air mensucikannya, maka lebih sempurna. Keempat manusia diberi pilihan di antara istinja dengan air atau dengan batu dan semisalnya. Kelima jika ia ingin salah satunya maka air lebih utama karena ia lebih mensucikan tempat dan menghilangkan benda ('ain) atau bekas. Ia lebih membersihkan. Keenam jika ia hanya ingin memakai batu saja, cukup tiga buah batu apabila sudah bisa membersihkan tempat. uika belum membersihkan, ia menambah empat dan lima hingga benar-benar bersih dan yang utama adalah dalam bilangan ganjil. Kedelapan tidak boleh istinja’ dengan tangan kanan, kecuali Jika tangan kiri terputus atau patah atau sakit atau yang lainnya, maka istinja’ dengan tangan kanannya diperbolehkan.[8]

Syarat Istinja’ (bersuci) dengan batu atau seumpamanya seperti kayu, atau kain atau kertas (tissu), maka syaratnya adalah Thahir dan kasat lagi bukan muhtaram yakni bukan barang yang diharamkan pada Syara’ dan syaratnya juga jangan yang sudah kering najisnya, dan wajib dengan 3 (tiga) kali sapuan. Adapun afdhalnya adalah istinja’ itu lebih dahulu dengan seumpama batu kemudian dibasuh dengan air.[9]

 

 

 

 

 

 

 

 

 

BAB III

PENUTUP

1.      Kesimpulan

a.       Istinja’ adalah hal membersihkan kedua pintu alat vital manusia, yaitu dubur qubul dari kotoran atau cairan selain air mani, yang keluar dari keduanya.

b.      Istinja’ (bersuci) dengan batu atau seumpamanya seperti kayu, atau kain atau kertas (tissu), maka syaratnya adalah thahir ( tidak najis ) dan kasat  bukan muhtaram yakni bukan barang yang diharamkan dan syaratnya juga jangan yang sudah kering najisnya serta wajib dengan 3 (tiga) kali sapuan.

2.      Saran

Makalah ini jauh dari sempurna untuk itu perlu kritik dan masukan agar bisa menjadi makalah bersama dan rujukan.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Daftar Pustaka

Abdul Mujib, M, Tholhah, Mabrur dan AM, Syafiah. Kamus Istilah Fiqih. Jakarta: Pustaka Firdaus, 2010.

Al-Lajnah ad Daimah lil Buhuts al ‘Ilmiah wal Ifta’, “Kaifiyatut Thaharah Wa Sholatul Maridh”. terjemah oleh Muhammad Iqbal A. Gazali, 2010, IslamHouse.

Al Habib Usman bin Abdullah bin ‘Aqil bin Yahya Al Alawi Al Husaini, Arrsyadul Anam Fi Tarjamati Arkanil Islam, dalam http://hutaraja.files.wordpress.com/2012/05/irsyadul-anam-fi-tarjamati arkanil-islam-al-alawi-al-husaini-terjemah.pdf



Rasyid, Sulaiman. Fiqh Islam. Bandung: Sinar Baru, 1992.




[2] Al-Qurãn, 2 (Al-Baqarah): 222.
[3] HR. Ahmad
[4] Abdul Mujib, M, Tholhah, Mabrur dan AM, Syafiah. Kamus Istilah Fiqih, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2010), 129-130.
[5] Anonim dalam http://warungbelajarbebas.blogspot.com/2013/01/istinja-menggunakan-tissue.html(08/05/2014)
[6] Rasyid, Sulaiman. Fiqh Islam, (Bandung: Sinar Baru, 1992), 36.
[7] Abdul Mujib, Kamus Istilah Fiqih, 130.
 
[8] Al-lajnah ad Daimah lil Buhuts al ‘Ilmiah wal Ifta’, “Kaifiyatut Thaharah Wa Sholatul Maridh”, terjemah oleh Muhammad Iqbal A. Gazali, 2010, IslamHouse. hal. 1-2. 
[9] Al Habib Usman bin Abdullah bin ‘Aqil bin Yahya Al Alawi Al Husaini,
 Arrsyadul Anam Fi Tarjamati Arkanil Islam,

Jumat, 11 April 2014

TASAWUF AKHLAKI


BAB I
PENDAHULUAN[1]

A.    Latar Belakang Masalah
Secara garis besar, Para ahli membagi akhlaq tasawuf menjadi dua aliran  besar (kecendrungan). Pertama, kecendrungan tasawuf yang lebih mengarah pada teori-teori perilaku; dan kedua, kecenderungan tasawuf yang lebih mengarah pada perumusan teori-teori rumit, pemikiran spekulatif berbau filsafat serta memperlukan pemahaman mendalam. Kecenderungan pertama sering disebut dengan aliran tasawuf akhlaqi. Sedangkan kecenderungan kedua sering disebut dengan jenis aliran tasawuf falsafi. Kali ini pembahasan akan difokuskan pada tasawuf akhlaqi.
Tasawuf adalah suatu ilmu dengan diketahui hal ihwal kebaikan dan keburukan jiwa, cara membersihkannya dari tercela dan mengisinya dengan sifat – sifat yang terpuji cara melakukan suluk, dan perjalanan menuju (keridhaan) Allah dan meninggalkan (larangan – larangan-Nya) menuju kepada (perintah-nya). [2]
Tasawuf adalah nama lain dari “Mistisisme dalam Islam”. Di kalangan orientalis Barat dikenal dengan sebutan “Sufisme”, tasawuf bertujuan untuk memperoleh suatu hubungan khusus langsung dari Tuhan. Hubungan yang dimaksud mempunyai makna dengan penuh kesadaran, bahwa manusia sedang berada di hadirat Tuhan.
Taswuf akhlaqi memiliki sederetan tokoh terkenal, antara lain Hasan Al-Basri (21-110 H/ 632-728 M), al-Harits bin Asad al-Muhasibi (w. 243 H), al-Qusyairi (w. 465 H) dan al-Ghazali (450-505 H/ 1058-1111). [3]
B.      Rumusan Masalah
 Dari latar belakang yang ada maka rumusan masalah yang penting untuk ditelaah adalah :
1.      Apa pengertian dan ajaran dari Tasawuf Akhlaqi ?
2.      Siapakah tokoh-tokoh Tasawuf Akhlaqi ?
C.    Tujuan Makalah
Tujuan pembuatan makalah :
1.      Memenuhi tugas perkuliahan.
2.      Melatih menulis ilmiah.
3.      Memahami arti dan ajaran tasawuf akhlaki dan tokoh-tokohnya.
BAB II
PEMBAHASAN
A.           Pengertian dan Ajaran Tasawuf Akhlaqi
Tasawuf akhlaki  jika ditinjau dari sudut bahasa, bentuk fase atau dalam kaidah bahasa arab dikenal dengan sebutan jumlah idhofah. Fase jumlah idhofah merupakan gabungan dari dua kata menjadi satu kesatuan makna yang utuh dan menentukan realitas yang khusus, yaitu kata ’tasawuf’ dan ‘akhlak’.
Kata Tasawuf menurut kaidah ilmu shorof merupakan bentuk isim masdar yaitu tashowwufan (تصوف   menjadi   تصوفا ), yang berasal dari fiil tsulatsi mazid khumasi, yaitu (تصوف) yang memiliki fungsi untuk membentuk makna lil-mutowwa’ah atau transitif (kata keja yang memiliki objek dalam kalimat) dan lil-musyarokah atau membentuk kata saling sehingga arti dari kata ‘tasawuf’ dalam bahasa arab adalah bisa membersihkan’ atau ‘saling membersihkan’. Kata ‘membersihkan’ merupakan kata kerja transitif yang membutuhkan objek. Objek tasawuf adalah akhlak manusia.[4]
Tasawuf akhlaqi ini sering di tunjukan dengan banyaknya istilah seperti halnya tasawuf praktis, karena lebih berorientasikan pada praktek akhlak atau perilaku shaleh, dan disebut juga dengan
tasawuf Sunni. Tasawuf Sunni yaitu bentuk tasawuf yang memagari dirinya dengan Al-Qur’an dan Al-Hadits secara ketat, serta mengaitkan ahwal (keadaan) dan maqomat (tingkatan rohaniah) mereka kepada dua sumber tersebut”. [5](Syukur : 1994)
Menurut Jurzi Zaidan berkeyakinan pula banwa Hubungan kata Arab ini dengan kata Yunani “Shopia” yang artinya kebijaksanaan. [6]
 Dan tujuan terpenting dari tujuan tasawuf adalah memperoleh hubungan langsung dengan Tuhan, sehingga merasa dan sadar berada di “hadirat” Tuhan. Keberadaan di “hadirat” Tuhan itu dirasakan sebagai kenikmatan dan kebahagiaan yang hakiki. Bagi kaum sufi, pengalaman Nabi Muhammad  Saw dalam melaksanakan Isra’ Mi’raj dan Nabi Musa As yang bisa membelah lautan menjadi dua, misalnya, merupakan sebuah contoh puncak pengalaman rohani tertinggi yang hanya di punyai oleh seorang Nabi.
Semua sufi berpendapat bahwa satu-satunya jalan yang dapat menghantarkan seseorang ke hadirat Allah hanyalah dengan kesucian jiwa. Karena jiwa manusia merupakan refleksi atau pancaran dari pada Dzat Allah Yang Maha Suci, segala sesuatu itu harus sempurna (perfection) dan suci. Untuk mencapai tingkat kesempurnaan dan kesucian, jiwa memerlukan pendidikan dan latihan mental yang panjang.
Dan sejalan dengan tujuan hidup tasawuf, para sufi berkeyakinan bahwa kebahagiaan yang paripurna dan langgeng bersifat spiritual. Berangkat dari falsafah hidup itu, baik dan buruk sikap mental seseorang dinilai berdasarkan pandangannya terhadap kehidupan duniawi. Kaum sufi juga berpendapat bahwa kenikmatan hidup duniawi bukanlah tujuan, tetapi sekedar jembatan. Oleh karena itu, untuk mencapai kesempurnaan dan kesucian yang pertama dan utama dilakukan adalah menguasai hawa nafsu. Sebab, menurut Al-Ghazali, tak terkontrolnya hawa nafsu yang ingin mengecap kenikmatan hidup duniawi adalah sumber utama dari kerusakan akhlak.[7]
Oleh karena itu, dalam rangka pendidikan mental-spiritual, metode yang ditempuh para sufi adalah menanamkan rasa benci kepada kehidupan duniawi untuk mencintai Tuhan. Esensi cinta kepada Tuhan adalah melawan hawa nafsu. Bagi sufi, keunggulan seseorang bukanlah diukur dari tumpukan harta yang dimilikinya, bukan pula dilihat dari pangkat yang dijabatnya. Nilai seseorang tidak dilihat dari bentuk tubuh yang dimilikinya, tetapi terletak pada akhlak pribadi yang diterapkannya.
Tasawuf akhlaki merupakan gabungan antara ilmu tasawuf dan ilmu akhlak. Tasawuf akhlaki dapat terealissi secara utuh jika pengetahuan dan ibadah kepada Allahdi buktikan dalam kehidupan social. Dalam tasawuf akhlaki mempunyai tahap sistem pembinaan akhlak diantaranya: Takhalli, Tahalli dan Tajalli.
  1. Takhalli
Takhalli merupakan langkah pertama yang harus di lakukan oleh seorang sufi. Takhalli adalah usaha membersihkan atau mengosongkan diri dari perilaku dan akhlak tercela, baik maksiat batin yang telah disebutkan. Maksiat-maksiat ini mesti dibersihkan, karena menurut para sufi semua itu adalah najis maknawiyah yang menghalangi seseorang untuk dapat dekat dengan tuhannya, sebagaiman najis zati yang menghalangi seseorang untuk melakukan ibadah kepada-Nya.
Takhalli berarti melepaskan diri dari ketergantungan kepada kelezatan hidup di dunia dengan melenyapkan doprongan hawa nafsu yang cenderung kepada keburukan.
  1. Tahalli
Tahalli adalah upaya mengisi dan menghiasi diri dengan jalan membiasakan diri dengan sikap, perilaku, dan akhlak terpuji. Tahapan tahalli dilakukan kaum sufi setelah mengosongkan jiwa dari akhlak-akhlak tercela. Dengan menjalankan ketentuan agama baik yang bersifat eksternal (luar) maupun internal (dalam). Yang disebut aspek luar adalah kewajiban-kewajiban yang bersifat formal seperti sholat, puasa, haji dan lain - lain.
Dan adapun yang bersifat dalam adalah seperti keimanan, ketaatan dan kecintaan kepada Tuhan. Apabila sifat-sifat buruk telah di buang, kemudian sifat-sifat baik ditanamkan, maka akan lahirlah kebiasaan-kebiasaan baik, akhlak yang mulia. Berbuat, bertingkah laku, bertindak dalam bimbingan sifat-sifat yang mulia yang telah ditanamkan dalam diri.
  1. Tajalli
Untuk pemantapan dan pendalaman materi yang telah dilalui pada fase tahalli, maka rangkaian pendidikan akhlak selanjutnya adalah fase tajalli. Kata tajalli bermakna terungkapnya nur ghaib. Agar hasil yang telah diperoleh jiwa dan organ-organ tubuh yang telah terisi dengan butir-butir mutiara akhlak dan sudah terbiasa melakukan perbuatan-perbuatan yang luhur tidak berkurang, maka rasa ketuhanan perlu dihayati lebih lanjut. Kebiasaan yang dilakukan dengan kesadaran optimum dan rasa kecintaan yang mendalam dalam dirinya akan menumbuhkan rasa rindu kepada-Nya.
Tingkat kesempurnaan kesuciaan jiwa dalam pandangan para sufi hanya dapat diraih melalui rasa cinta kepada Allah. Keberadaan dekat dapat diraih melalui rasa cinta kepada Allah. dekat dengan Allah hanya akan dapat diperoleh dengan kebersihan jiwa. Jalan menuju kedekatan pada Allah menurut para sufi dapat dilakukan dengan dua usaha yaitu dengan mulazamah dan mukhalafah. Dan untuk memperdalam dan   melenggangkan rasa kedekatan pada Tuhan, para sufi mengajarkan hal-hal berikut: Munajat, munasabah, muraqobah, katsrat ad-dzikr, dzikir al-maut, dan tafakur.
B.     Tokoh-tokoh Tasawuf Ahklaqi
       1.      Hasan Al-Bashri
Nama lengkapnya Abu Sa’id Al-Hasan Bin Yasar. Beliau adalah seorang zahid yang amat masyhur di kalangan tabiin. Dia lahir di Madinah pada tahun 21 H (624 M), dan meninggal di Basrahpada tahun 110 (726 M). ayahnya bernama Zaid Bin Tsabit, seorang budak yang kemudian menjadi sekertaris Nabi Muhammad Saw, ibunya adalah hamba dari istri Nabi yaitu Ummu Salamah.
Hasan Al-Basri yang mula-mula menyediakan waktunya untuk memperbincangkan ilmu-ilmu kebatinan, kemurnian akhlak, dan usaha menyucikan jiwa di Masjid Basrah. Ajaran-ajarannya tentang kerohanian senantisa didasarkan pada sunnah Nabi. Para sahabat Nabi yang masih hidup di zaman itu pun mengakui kebesarannya. Puncak keilmuannya beliau peroleh di Basrah. Beliau sangat terkenal dengan keilmuannya yang sangat dalam. Disamping sebagai zahid, Ia juga terkenal sebagai seorang yang wara’ dan berani dalam memperjuangkan kebenaran.
Dan beliau adalah orang yang pertama kali memunculkan ajaran dengan sikap mental dan rasa cemas (khaul) dan harap (raja’) sebagai cirri kehidupan sufi. Menurut Al-Bashri, yang dimaksud dengan cemas atau takut adalah sesuatu perasaan yang timbul karena banyak berbuat salah dan sering lalai kepada Allah. Rasa takut akan mendorong seseorang untuk mempertinggi nilai dan kadar pengabdiannya dengan harap (raja’), ampunan dan anugerah Allah.
Ia pernah berkata, “Demikian takutnya, sehingga ia seakan – akan ia merasa bahwa neraka itu hanya di jadikan untuk ia (Hasan Al-Basri).”[8]
Adapun ajaran-ajaran Hasan Al-Bashri dapat dilihat dari ungkapan-ungkapannya seperti yang dikutip oleh Hamka sebagai berikut:
a.       Perasaan takut yang menyebabkan hatimu tentram lebih baik dari pada rasa tentram yang menimbulkan perasaan takut.
b.      Dunia adalah negri tempat beramal. Barang siapa yang bertemu dunia dengan perasaan benci dan zuhud, ia akan berbahagia dan memperoleh faedah darinya. Namun barang siapa yang bertemu dunia dengan perasaan rindu dan hatinya tertambat pada dunia, ia akan sengsara dan berhadapan dengan penderitaan yang tidak dapat ditanggungnya.
a.       Tafakur membawa kita pada kebaiakan dan berusaha mengerjakannya. Menyesal atas perbuatan jahat membuat kita tidak mengulanginya lagi. Sesuatu yang fana bagaimanapun tidak akan menyamai yang baqa’ betapapun sedikitnya.  Waspadalah terhadap negri yang cepat datang dan pergi serta penuh tipuan.
b.      Dunia ini adalah seorang janda tua yang telah bungkuk dan beberapa kali ditinggalkan suaminya.
c.       Orang yang beriman akan senantiasa berduka cita pada pagi dan sore hari karena berada diantara perasaan takut, yaitu takut mengenang dosa yang telah lampau dan takut memikirkan ajal yang masih tinggal dan bahaya yang akan mengancam.
d.      Hendaklah setiap orang sadar akan memikrkan kematian yang senntiasa mengancamnya dan kiamat yang akan menagih janjinya.
e.       Banyak duka cita di dunia memperteguh semangat amal shaleh.
Berkaitan dengan ajaran Al-Bashri, Muhammad Musthafa seorang guru besar filsafat islam menyatakan bahwa kemungkinan tasawuf  Hasan Al-Bashri didasari oleh rasa takut siksa Tuhan di dalam neraka. Setelah diteliti ternyata bukan perasaan takut terhadap siksaan yang mendasari tasawufnya, tetapi kebesaran jiwanya akan kekurangan dan kelalain dirinya yang mendasari tasawuf. Sebagaimana sabda Nabi: “Orang beriman yang selalu mengingat dosa-dosa yang pernah dilakukannya adalah laksana orang yang duduk di bawah gunung besar yang senantiasa merasa takut gunung itu akan menimpa dirinya”.
2.      Al-Muhasibi
Nama lengkapnya Abu ‘Abdillah Al-Harits bin Asad Al-Bashri Al-Baghdadi Al-Muhasibi. Beliau terkenal dengna sebutan Al-Muhasibi, beliau lahir di Bashrah, Irak, pada tahun 165 H (781 M) dan beliau meninggal pada tahun 243 H ( 857 M) di Baghdad Irak. Beliau adalah seorang sufi dan ulama besar yang dikenal dan menguasai beberapa bidang ilmu seperti: Hadits. dan Fiqih. Dan beliau juga merupakan figur sufi yang dikenal senantiasa menjaga dan mawas diri terhadap perbuatan dosa. beliau juga sering kali mengintropeksi diri menurut amal yang dilakukannya. [9]

Al-Muhasibi  memandang bahwa jalan keselamatan hanya dapat di tempuh melalui ketaqwaan kepada Allah. Hamka mengutip kata-kata dari Al-Muhasibi” Barang siapa yang telah bersih hatinya karena senantiasa muroqobah dan ikhlas, maka akan berhiaslah lahirnya dengan mujahadah (perjuangan) dan mengikuti contoh yang ditinggalkan Rasulallah Saw.
Al–Muhasibi juga berbicara teentang Ma’rifat. Menurutnya, Ma’rifat harus ditempuh melalui jalan tasawuf yang mendasarkan pada Al-Qur’an dan Sunnah. Untuk mencapai Ma’rifat, diperlukakan tahapan-tahapan yaitu yang pertama, taat. Awal  dari kecintaan kepada Allah adalah taat. Yang kedua, Khauf (rasa takut) dan Raja’ (pengharapan). Menurutnya Khauf dan Raja’ menempati posisi yang penting dalam perjalanan seseorang dalam membersihkan jiwa.
3.      Al-Qusyairi
Nama lengkapnya adalah ‘Abdul Karim bin Hawazim, lahir tahun 376 H di Istiwa, kawasan Nishafur, salah satu pusat ilmu pengetahuan pada masanya. Beliau meninggal pada tahun 465 H. Beliau sangat mengecam keras para  sufi pada masanya karena kegemaran mereka menggunakan pakaian orang-orang miskin, sementara tindakan mereka pada saat yang sama bertentangan dengan pakian mereka. Dia menekankan bahwa kesehatan batin, dengan berpegang teguh pada Al-Qur’an dan Sunnah, lebih penting ketimbang pakaian lahiriah. Menurut Al-Qusyairi, upaya pengembalian arah tasawuf harus dengan cara merujuknya pada doktrin ahlussunnah.
Al-Qusyairi mencoba mengadakan pembaharuan terhadap tasawuf. Ia mengemukakan konsep-konsep mengkompromikan antara syariat dengan hakikat, antara yang dzahir dengan yang bathin dengan senantiasa berpegang teguh kepada Al-Qur’an dan Assunnah. [10]
4.      Al-Ghazali
Nama lengkapnya adalah Abu Hamid Muhammad bin Muhammad bin Muhammad bin Ta’us Ath-Thusi Asy-Syafi’i Al-Ghazali. Beliau dipanggil Al-Ghazali karena dilahirkan di kampung Ghazlah. Al-Ghazali lahir pada tahun 450 H/ 1057 M di kampung Ghazlah sebuah kota di Khurasan, Iran. Beliau meninggal di kota kelahirannya pada tanggal 19 Desember tahun 505 H/ 1111 M. Di masa hidupnya, bertepatan dengan masa pemerintahan Perdana Menteri Nizamul Muluk dari Kerajaan Bani Saljuk. Dan Al-Ghazali mendapat gelar “ hujjah al-islam”.
Al-Ghazali dikenal sebagai Fuqoha, Mutakallim, Filosof, Sufi, dan Ahli Didik yang dikagumi oleh Ulama-ulama besar, karena sangat dalam dan luas ilmunya. Al-Ghazali mempelajari ilmu fiqh kepada Ahmad bin Muhammad Ar-Rizkani. Kemudian beliau melanjutkan ke Nizhamiyah di Naisabur, dan disinilah beliau berguru kepada Imam Haramain (Al-Juwaini, wafat 478 H/ 1086 M). Selama di Naisabur, beliau juga belajar teori-teori Tasawuf kepada Yusuf An-Nasaj.
Al-Ghazali sering berpendapat bahwa Mutakallimin sering melakukan kekeliruan, karena menjadikan Filsafat sebagai dasar berpikir dalam menguraikan Ilmu Kalam. Oleh karena itu, kebenaran ilmunya hanya sampai ke penghujung Filsafat, tidak bisa menggali sampai ke akar-akarnya. Maka hasilnya, ilmu tersebut tidak akan dapat memperkuat pendirian ketuhanan bahkan hanya menggoyahkan saja.
Al-Ghazali seperti halnya Al-Qusyairi yang mencoba mengembalikan tasawuf dibawah bimbingan dan petunjuk Al-Qur’an dan Sunnah. Al-Ghazali berpendapat bahwa sebelum mempelajari dan mengamalkan tasawuf orang harus menperdalam ilmu tentang syariat dan aqidah terlebih dahulu dan menjalankannya secara tekun dan sempurna. Menurut Al-Ghazali bahwa ma’rifah dan mahabbah adalah setinggi-tingginya tingkat yang dicapai seorang sufi dan pengetahuan yang diperoleh dengan akal.
Keberhasilan Al-Ghazali mengkompromikan syariat dan hakikat, dikatakan bukan tidak memiliki kelemahan. Penempatan syariat dibawah tarekat dan hakikat telah menimbulkan suatu efek dimana para sufi selalu merasa superior, merasa menjadi golongan khawaj yang memiliki kelebihan atau keunggulan dari manusia biasa.
Terlepas dari kekurangan–kekurangannya, Al-Ghazali adalah seorang sufi ulum yang telah berhasil membangkitkan gairah keagamaan yang mulai redup pada waktu itu dan mengembalikan penghayatan agama atau ajaran tasawuf kepada bingkai ajaran Al-Qur’an dan As-Sunnah.
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Dalam rangka pendidikan mental-spiritual, metode yang ditempuh para sufi adalah menanamkan rasa benci kepada kehidupan duniawi. Ini berarti melpaskan kesenangan duniawi untuk mencari Tuhan. Esensi cinta kepada Tuhan adalah melawan hawa nafsu. Bagi kaum sufi,keunggulan seseorang bukanlah diukur dari tumpukan harta yang dimiliki, bukan pula dilihat dari pangkat yang di jabatnya dan bukan pula dari otoritas yang dimilikinya. Nilai seseorang tidak dilihat dari bentuk tubuh yang dimilikinya, tetapi terletak pada akhlak pribadinya yang diterapkannya.
Para sufi berpendapat bahwa untuk merehabilitasi sikap mental yang tidak baik di perlukan terapi yang tidak hanya dari aspek lahiriah. Itulah sebabnya, pada tahap-tahap awal memasuki kehidupan tasawuf, seorang diharuskan melakukan amalan dan latihan kerohanian yang cukupa berat. Tujuannya adalah menguasai hawa nafsu, menekan hawa nafsu sampai ketitik terendah hingga mematikan hawa nafsu.






DAFTAR PUSTAKAAN
 Anwar, Rosihin. Akhlaq Tasawuf. Bandung. Pustaka Setia. 2009.
 Amin Syukur, Rasionalisme dalam Tasawuf. IAIN Wali Songo. Semarang, 1994.
 Edidarmo Toto, Mulyadi, Akidah Akhlak.Semarang.PT Karya Toha Putra. 2009.
 Hamka, Tasawuf moderen, pustaka panjimas, jakarta 1990.
 Mahdi. Pengantar Akhlaq Tasawuf. Cirebon. CV. Pangger. 2008.
M. Solihin, Tokoh-tokoh Sufi Lintas Zaman. Pustaka Setia. Bandung, 2003.
 Mahfud, Akhlaq Tasawuf, Cirebon, At-Tarbiyah, 2011.
 Muhammad Amir Kurdi, tt.,Tanwi al-Qulub fi Mu’amalah ‘Alam al-Ghuyub, surabaya, Bungkul indah, 2003.
Mustofa, Akhlak Tasawuf. Bandung. Pustaka Setia. 2010, Cetakan Kelima.
M. Solihin dan Rosihon Anwar, Ilmu Tasawuf. Bandung. Pustaka Setia. 2008,
Cetakan Pertama.


[1] Mustaien,Makalah Akhlak Tasawuf: Guru SMPN 31 Surabaya Maret 2014.
[2] Kurdi Muhammad A, al-Qulub fi Mu’amalah ‘Alam a-Ghuyub,Surabaya: Bungkul Indah,. 2003, 406.
[3] Mahfud, Akhlak Tasawuf, Cirebon: At Tarbiayah, 2011, 33.
[4] Rosihin Anwar, Akhlak Tasawuf, Bandung: Pustaka Setia, 2009,...
[5] Syukur Amin, Rasionalisme dalam Tasawuf, Semarang: IAIN Wali Songo, 1994, ....
[6] Toto Edidarmo, Akidah Akhlak, Semarang: PT Karya Toha Putra, 2009, 166.
[7] Mahdi, Pengantar Akhlak Tasawuf, Cirebon: CV. Pangger, 2008, .....
[8] Hamka, Tasawuf Moderen, Jakarta: Pustaka Panjimas, 1990,72.
[9] Solihin M, Tokoh-tokoh Sufi Lintas Zaman, Bandung: Pustaka Setia, 2003, 47.
[10] Mustofa, Akhlak Tasawuf, Bandung: Pustaka Setia, Cetakan ke Lima, 2010,...