Rabu, 07 Mei 2014

ISTINJA' DENGAN TISSU


BAB I

PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang

Salah satu sifat Allah yang Maha Sempurna itu adalah Maha Suci. Allah adalah Dzat yang Maha Suci dan mencintai kesucian dan kebersihan. Agar seseorang mendapatkan cinta dari Allah, maka dia harus suci dan bersih baik lahir maupun batin. Kesucian secara lahir bisa ditempuh dengan memperhatikan aturan-aturan syariah seperti dalam masalah thaharah. Thaharah memiliki kedudukan yang sangat penting dalam syariat Islam, karena merupakan syarat pokok untuk dilakukannya kewajiban yang sangat penting seperti shalat. Permasalahan thaharah ini juga hanya didapatkan dalam aturan syariat Islam dan tidak ditemukan dalam aturan agama lain.[1]

Dalam al-Quran ditegaskan bahwa Allah mencintai orang-orang yang selalu menjaga kebersihan dan kesucian, firmanNya :

š¨bÎ) ©!$# =Ïtä tûüÎ/º§q­G9$# =Ïtäur šúï̍ÎdgsÜtFßJø9$# ÇËËËÈ  

“ Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertaubat dan menyukai orang-orang yang mensucikan diri.”[2] Dan dalam hadis Rasulullah Saw menyatakan bahwa kebersihan adalah sebagian dari iman.[3]

Istinja’ adalah bagian dari kebersihan dan kesucian yang wajib kita lakukan dimana saja berada setelah buang hajat ( besar atau kecil ), di rumah, kantor, termasuk ditempat-tempat yang mewah seperti di pesawat, kapal pesiar, di hotel berbintang, di mall-mall yang ada di metropolis.

Sering kita mendengar, membaca dan mengalami sendiri dimana pada saat berada di kamar kecil sebuah mall atau hotel bahkan di kendaraan seperti kereta api dan pesawat terbang tidak tersedia air yang ada hanya tisu untuk membersihkan atau beristinja’ ini sebuah fenomena yang tumbuh dari kemajuan jaman yang canggih dan ditandai oleh perkembangan ilmu-teknologi sedagkan di masa Rasulullah Saw juga belum dikenal benda yang disebut tisu.

 

B.     Rumusan Masalah

Dari latar belakang yang ada maka perlu kami bahas beberapa rumusan masalah, antara lain :

1.      Bagimanakah pengertian istinja’ ?

2.      Bagimanakah hukum istinja’ dengan tissu ?

 

 

 

 

 

BAB II

PEMBAHASAN

A.    Pengertian Istinja’

Istinja’ adalah hal membersihkan kedua pintu alat vital manusia, yaitu dubur qubul dari kotoran atau cairan selain air mani, yang keluar dari keduanya.[4] Istinja' atau bercebok merupakan kegiatan membersihkan kotoran yang keluar dari dua jalan (qubul dan dubur).[5]

B.     Istinja’ Dengan Tissu

           Apabila keluar kotoran dari salah satu dua pintu, wajib istinja’ dengan air atau dengan tiga buah batu; yang lebih baik mula-mula dengan batu atau lainnya, kemudian dengan air.[6]

Dalam kamus istilah fiqh, disebutkan bahwa alat yang dipergunakan untuk istinja’, ialah air dan batu atau benda-benda lain yang sejenis dengan batu, sepert : kayu, kertas, tembikar, bata dan lain sebagainya, dengan catatan benda-benda tersebut sudah tidak terpakai ( ghaira muhtaram ).[7]

          Kemudian di dalam hadits riwayat Muslim disebutkan, dari Abdurrahman bin Yazid dari Salman Ra, bahwa :

قِيلَ لَهُ قَدْ عَلَّمَكُمْ نَبِيُّكُمْ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كُلَّ شَيْءٍ حَتَّى الْخِرَاءَةَ قَالَ فَقَالَ أَجَلْ لَقَدْ نَهَانَا أَنْ نَسْتَقْبِلَ الْقِبْلَةَ لِغَائِطٍ أَوْ بَوْلٍ أَوْ أَنْ نَسْتَنْجِيَ بِالْيَمِينِ أَوْ أَنْ نَسْتَنْجِيَ بِأَقَلَّ مِنْ ثَلَاثَةِ أَحْجَارٍ أَوْ أَنْ نَسْتَنْجِيَ بِرَجِيعٍ أَوْ بِعَظْمٍ

Ditanyakan kepadanya, “(Apakah) Nabi kalian telah mengajarkan segala sesuatu hingga adab beristinja?” Abdurrahman berkata, “Salman menjawab, “Ya. Sungguh beliau telah melarang kami untuk menghadap kiblat saat buang air besar dan saat buang air kecil, serta beliau melarang kami untuk beristinja’ dengan tangan kanan, beristinja’ dengan batu kurang dari tiga buah, atau beristinja’ dengan kotoran hewan atau tulang.”

            Dalam hadis diatas dijelaskan bahwa : Pertama istinja’ harus dengan tiga buah batu yang suci, Kedua tidak boleh dengan kotoran, tulang, makanan dan segala sesuatu yang dihormati. Ketiga yang paling utama adalah istinja’ (istijmar) dengan batu atau yang serupa seperti tissu (sapu tangan), tanah, dan semisalnya, kemudian diteruskan dengan air, karena batu menghilangkan benda najis dan air mensucikannya, maka lebih sempurna. Keempat manusia diberi pilihan di antara istinja dengan air atau dengan batu dan semisalnya. Kelima jika ia ingin salah satunya maka air lebih utama karena ia lebih mensucikan tempat dan menghilangkan benda ('ain) atau bekas. Ia lebih membersihkan. Keenam jika ia hanya ingin memakai batu saja, cukup tiga buah batu apabila sudah bisa membersihkan tempat. uika belum membersihkan, ia menambah empat dan lima hingga benar-benar bersih dan yang utama adalah dalam bilangan ganjil. Kedelapan tidak boleh istinja’ dengan tangan kanan, kecuali Jika tangan kiri terputus atau patah atau sakit atau yang lainnya, maka istinja’ dengan tangan kanannya diperbolehkan.[8]

Syarat Istinja’ (bersuci) dengan batu atau seumpamanya seperti kayu, atau kain atau kertas (tissu), maka syaratnya adalah Thahir dan kasat lagi bukan muhtaram yakni bukan barang yang diharamkan pada Syara’ dan syaratnya juga jangan yang sudah kering najisnya, dan wajib dengan 3 (tiga) kali sapuan. Adapun afdhalnya adalah istinja’ itu lebih dahulu dengan seumpama batu kemudian dibasuh dengan air.[9]

 

 

 

 

 

 

 

 

 

BAB III

PENUTUP

1.      Kesimpulan

a.       Istinja’ adalah hal membersihkan kedua pintu alat vital manusia, yaitu dubur qubul dari kotoran atau cairan selain air mani, yang keluar dari keduanya.

b.      Istinja’ (bersuci) dengan batu atau seumpamanya seperti kayu, atau kain atau kertas (tissu), maka syaratnya adalah thahir ( tidak najis ) dan kasat  bukan muhtaram yakni bukan barang yang diharamkan dan syaratnya juga jangan yang sudah kering najisnya serta wajib dengan 3 (tiga) kali sapuan.

2.      Saran

Makalah ini jauh dari sempurna untuk itu perlu kritik dan masukan agar bisa menjadi makalah bersama dan rujukan.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Daftar Pustaka

Abdul Mujib, M, Tholhah, Mabrur dan AM, Syafiah. Kamus Istilah Fiqih. Jakarta: Pustaka Firdaus, 2010.

Al-Lajnah ad Daimah lil Buhuts al ‘Ilmiah wal Ifta’, “Kaifiyatut Thaharah Wa Sholatul Maridh”. terjemah oleh Muhammad Iqbal A. Gazali, 2010, IslamHouse.

Al Habib Usman bin Abdullah bin ‘Aqil bin Yahya Al Alawi Al Husaini, Arrsyadul Anam Fi Tarjamati Arkanil Islam, dalam http://hutaraja.files.wordpress.com/2012/05/irsyadul-anam-fi-tarjamati arkanil-islam-al-alawi-al-husaini-terjemah.pdf



Rasyid, Sulaiman. Fiqh Islam. Bandung: Sinar Baru, 1992.




[2] Al-Qurãn, 2 (Al-Baqarah): 222.
[3] HR. Ahmad
[4] Abdul Mujib, M, Tholhah, Mabrur dan AM, Syafiah. Kamus Istilah Fiqih, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2010), 129-130.
[5] Anonim dalam http://warungbelajarbebas.blogspot.com/2013/01/istinja-menggunakan-tissue.html(08/05/2014)
[6] Rasyid, Sulaiman. Fiqh Islam, (Bandung: Sinar Baru, 1992), 36.
[7] Abdul Mujib, Kamus Istilah Fiqih, 130.
 
[8] Al-lajnah ad Daimah lil Buhuts al ‘Ilmiah wal Ifta’, “Kaifiyatut Thaharah Wa Sholatul Maridh”, terjemah oleh Muhammad Iqbal A. Gazali, 2010, IslamHouse. hal. 1-2. 
[9] Al Habib Usman bin Abdullah bin ‘Aqil bin Yahya Al Alawi Al Husaini,
 Arrsyadul Anam Fi Tarjamati Arkanil Islam,